Menelisik Slow Living: Antara Tren, Privilege dan Realitas

Terbit Jumat, 29 November 2024
resonansi - slow living
Ilustrasi slow living, anak muda yang menepi dari kehidupan sosial media.

Resonansi.co.id – Kehadiran ungkapan slow living di kehidupan anak-anak muda masa kini adalah hasil dari respons terhadap tekanan zaman yang serba cepat. Di era digital, mereka terus dibombardir dengan pesan-pesan produktivitas, kesuksesan instan, dan kehidupan glamor yang terlihat di media sosial. Ungkapan ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap gaya hidup “always on” yang membuat banyak orang merasa lelah dan kehilangan arah.

1. Refleksi Kehidupan Digital

Anak muda masa kini tumbuh di tengah derasnya arus digital. Media sosial sering kali menjadi panggung untuk berlomba-lomba menunjukkan pencapaian, mulai dari karier, hubungan, hingga gaya hidup. Namun, sisi lain dari ini adalah munculnya kelelahan digital (digital fatigue)—rasa lelah akibat terus-menerus terpapar informasi dan ekspektasi.

Di sinilah konsep slow living hadir. Ungkapan ini menawarkan pelarian sekaligus solusi. Alih-alih sibuk dengan notifikasi dan “scrolling tanpa akhir,” slow living mendorong mereka untuk memanfaatkan waktu offline, memutus hubungan sejenak dengan layar, dan menikmati hal-hal kecil yang sering diabaikan.

2. Keseimbangan antara Pekerjaan dan Kehidupan

Generasi muda, terutama Gen Z dan milenial, dikenal sebagai generasi yang sangat peduli dengan keseimbangan hidup. Tidak seperti generasi sebelumnya yang cenderung mendewakan kerja keras sebagai satu-satunya jalan menuju kesuksesan, mereka lebih memilih menjalani hidup dengan prinsip work-life balance.

Ungkapan slow living menjadi relevan karena menekankan pentingnya mengambil waktu untuk diri sendiri. Misalnya, ada tren di kalangan anak muda untuk menghabiskan akhir pekan dengan kegiatan seperti membaca buku, hiking, atau berkebun—aktivitas yang memberi ketenangan dan mengurangi stres.

3. Meninggalkan Kota Besar

Fenomena anak muda yang memutuskan pindah dari kota besar ke daerah yang lebih tenang adalah salah satu manifestasi nyata dari slow living. Mereka merasa bahwa kota besar, dengan segala kebisingan dan kesibukannya, terlalu banyak menuntut energi. Pindah ke tempat yang lebih sunyi memungkinkan mereka hidup dengan ritme yang lebih lambat dan memprioritaskan kesehatan mental.

Beberapa bahkan mengambil langkah ekstrem dengan bekerja remote dari tempat-tempat terpencil, seperti desa pegunungan atau tepi pantai. Ini memungkinkan mereka menikmati alam sekaligus menjaga produktivitas.

4. Pilihan Konsumsi yang Lebih Sadar

Slow living juga hadir dalam pola konsumsi. Anak muda kini semakin sadar akan dampak dari gaya hidup konsumtif yang tidak berkelanjutan. Mereka mulai memilih produk lokal, mengurangi penggunaan plastik, hingga menjalankan gaya hidup minimalis. Mereka membeli lebih sedikit barang, tetapi memilih barang berkualitas yang benar-benar membawa nilai.

Misalnya, daripada terus membeli pakaian baru untuk mengikuti tren, mereka lebih memilih “capsule wardrobe”—koleksi pakaian kecil dengan potongan yang serbaguna dan tahan lama.

5. Menemukan Makna dalam Hal-Hal Kecil

Di dunia yang sering kali menilai kesuksesan dari ukuran besar—gaji tinggi, rumah mewah, atau karier yang gemilang—slow living mengajarkan anak muda untuk menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Misalnya, memasak makanan dari nol, menikmati teh hangat di pagi hari, atau sekadar berjalan santai di taman menjadi aktivitas yang dihargai.

Keseimbangan ini memberikan rasa kontrol atas hidup mereka, yang sering kali terasa hilang di tengah tekanan modernitas.

Mengapa Slow Living Penting?

Ungkapan slow living tidak hanya menjadi tren, tetapi juga kebutuhan. Di dunia yang bergerak cepat, slow living mengajarkan anak muda untuk mengambil jeda, menikmati momen, dan memilih kehidupan yang benar-benar sesuai dengan hati mereka. Ini bukan soal berhenti, tetapi soal berjalan dalam ritme yang tepat—ritme yang memungkinkan mereka benar-benar hidup.

Slow living adalah pengingat bahwa tidak apa-apa untuk melambat dan menikmati perjalanan, karena hidup bukan sekadar tentang mencapai garis akhir, tetapi bagaimana kita menjalani setiap langkahnya.

“Slow Living”: Apakah Benar-Benar Solusi, atau Sekadar Tren Semu?

Dalam beberapa tahun terakhir, slow living menjadi istilah yang populer di kalangan anak muda. Konsep ini dianggap sebagai pelarian dari tekanan gaya hidup modern yang serba cepat. Namun, benarkah slow living adalah solusi? Ataukah ini hanya tren semu yang terlihat manis di permukaan, tetapi sulit diaplikasikan dalam kehidupan nyata?

1. Gaya Hidup Privilege yang Tidak Inklusif

Salah satu kritik utama terhadap slow living adalah bahwa ini sering kali menjadi gaya hidup yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki privilege finansial. Pindah ke daerah yang lebih tenang, misalnya, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tidak semua orang punya kebebasan untuk meninggalkan pekerjaan mereka di kota besar demi menjalani hidup yang lebih santai di desa atau tepi pantai.

Bagi banyak anak muda yang masih bergulat dengan beban utang pendidikan, biaya hidup tinggi, atau pekerjaan dengan tuntutan besar, slow living lebih terasa sebagai sebuah kemewahan daripada solusi nyata.

2. Menutupi Masalah Struktural

Slow living sering kali dipromosikan sebagai jawaban atas stres dan kelelahan yang disebabkan oleh ritme hidup modern. Namun, konsep ini cenderung mengabaikan akar masalah yang sebenarnya: sistem ekonomi dan budaya kerja yang eksploitatif.

Alih-alih mendorong perubahan sistemik yang lebih besar, slow living seolah-olah hanya menjadi tambalan sementara. Gaya hidup ini mengarahkan tanggung jawab sepenuhnya pada individu untuk “mengatur ritme hidupnya sendiri,” tanpa mempertanyakan apakah ritme cepat itu sebenarnya merupakan hasil dari sistem yang tidak adil.

3. Eksploitasi dalam Balutan Tren

Ironisnya, slow living yang seharusnya menawarkan kesederhanaan justru menjadi tren konsumtif baru. Banyak merek menggunakan konsep slow living untuk menjual produk-produk dengan label “minimalis” atau “sustainable,” yang sering kali harganya jauh lebih mahal. Misalnya, dekorasi rumah sederhana, pakaian kapsul, atau gadget yang mendukung gaya hidup santai justru menjadi komoditas yang dipasarkan sebagai simbol status.

Kritik ini menunjukkan bahwa slow living bukan sekadar gaya hidup, tetapi juga ladang baru bagi kapitalisme untuk meraup keuntungan dari rasa cemas generasi muda.

4. Tidak Realistis untuk Semua Orang

Slow living mengajarkan kita untuk melambat, tetapi dunia modern tidak selalu mengizinkan hal itu. Tidak semua orang memiliki pekerjaan fleksibel atau waktu luang untuk menikmati “momen kecil.” Pekerja harian, tenaga kesehatan, atau orang tua tunggal, misalnya, sering kali tidak punya pilihan selain terus berlari mengejar kebutuhan hidup.

Bagi mereka, slow living mungkin terasa seperti nasihat yang datang dari tempat yang jauh dari kenyataan.

5. Mengglorifikasi Ketidakproduktifan?

Meskipun slow living bertujuan untuk menciptakan keseimbangan hidup, kritik lain adalah bahwa konsep ini terkadang bisa menjadi dalih untuk menghindari tanggung jawab atau memanjakan diri dalam ketidakproduktifan. Dalam beberapa kasus, slow living mengarah pada sikap pasif yang justru bertentangan dengan upaya untuk menghadapi tantangan hidup.

Kesimpulan: Butuh Pendekatan yang Lebih Realistis

Slow living bukanlah solusi universal. Ia bisa menjadi jalan keluar bagi sebagian orang, tetapi sulit diterapkan dalam skala yang lebih luas tanpa mengatasi masalah struktural seperti ketidakadilan ekonomi dan budaya kerja yang eksploitatif. Alih-alih memuja slow living sebagai gaya hidup ideal, mungkin yang lebih penting adalah mencari cara untuk menciptakan keseimbangan hidup yang inklusif, realistis, dan tidak semata-mata menjadi tren konsumtif.

Bagi mereka yang ingin memperlambat ritme hidup, penting untuk melakukannya dengan kesadaran penuh bahwa ini bukanlah solusi untuk semua orang—dan tidak selalu relevan dengan kenyataan yang dihadapi banyak orang di luar sana. (*)

Bagikan:

BERITA TERKAIT