resonansi.co.id – Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Kalimantan Timur, Subandi, menegaskan bahwa tidak ada aturan dalam tata tertib maupun kode etik DPRD yang melarang anggota dewan untuk tetap aktif atau membuat konten di media sosial. Namun, ia mengingatkan, kebebasan tersebut harus disertai tanggung jawab dan sikap bijak, terutama dalam menjaga marwah lembaga legislatif.
“Kalau secara khusus memang tidak diatur dalam tata tertib maupun kode etik. Yang pasti, kebebasan berbicara melalui media sosial tetap diperbolehkan. Namun, sebagai anggota dewan, tentu harus ada batasan dalam berkomunikasi. Harus tetap menjaga norma dan marwah lembaga,” ujar Subandi saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (10/2/2025).
Pernyataan Subandi itu muncul menyusul pelantikan Abdul Giaz, politisi muda dari Partai NasDem, sebagai anggota DPRD Kaltim melalui mekanisme Pengganti Antar Waktu (PAW) untuk sisa masa jabatan 2024–2029. Giaz menggantikan Saefuddin Zuhri, dan resmi dilantik pada Senin (10/2/2025) di Gedung DPRD Kaltim, Samarinda.
Nama Abdul Giaz sebelumnya sudah cukup dikenal publik, bukan karena sepak terjang politiknya, melainkan aktivitasnya di dunia digital. Ia merupakan seorang influencer lokal yang aktif mengkritik kondisi jalan rusak di Samarinda dan sekitarnya melalui akun media sosialnya. Unggahan-unggahan videonya sering viral dan mendapat dukungan luas dari masyarakat, karena dianggap menyuarakan keresahan warga yang sudah lama terabaikan.
Kritik-kritik Giaz sering kali tajam dan disampaikan dengan gaya khas, namun tetap santun dan berorientasi pada kepentingan publik. “Suara rakyat” yang ia gaungkan lewat media sosial kini membawanya ke gedung dewan, tempat di mana kritik bisa diubah menjadi kebijakan nyata.
Menurut Subandi, posisi baru Abdul Giaz sebagai wakil rakyat justru membuka ruang yang lebih besar untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat. Ia menilai, Giaz kini memiliki akses langsung untuk menyampaikan masalah yang selama ini hanya bisa dikritik dari luar sistem.
“Kalau ada sesuatu yang janggal atau perlu diperjuangkan, sekarang beliau bisa langsung menegur OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait. Ini tentu lebih efektif daripada sekadar mengkritik di media sosial,” tutur Subandi yang juga politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Ia menjelaskan, ketika seseorang sudah menjadi anggota DPRD, maka ia bukan lagi sekadar warga biasa yang menyampaikan kritik dari luar, tetapi bagian dari lembaga yang memiliki wewenang konstitusional untuk mengawasi dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Karena itu, cara menyuarakan aspirasi juga perlu menyesuaikan dengan kedudukan dan tanggung jawab barunya.
Namun, Subandi juga tidak menutup kemungkinan bahwa media sosial tetap bisa menjadi alat komunikasi politik yang penting. Bagi anggota dewan, platform digital dapat dimanfaatkan untuk menjalin kedekatan dengan konstituen, membagikan informasi publik, dan menampung masukan dari masyarakat secara langsung.
“Selama bahasanya santun, tidak melewati batas, tetap bijak, dan sesuai etika sebagai pejabat publik, tidak masalah. Bahkan, media sosial bisa menjadi sarana yang baik untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai kinerja dan program DPRD,” tegasnya.
Subandi menilai, media sosial pada dasarnya adalah ruang ekspresi yang sah bagi siapa pun, termasuk pejabat publik. Namun, dalam konteks lembaga legislatif, setiap pernyataan yang disampaikan anggota DPRD di ruang digital tetap melekat pada jabatannya. “Karena bagaimanapun, masyarakat akan melihat dia bukan sebagai pribadi semata, tetapi sebagai wakil rakyat. Maka, tutur kata dan sikapnya di ruang publik harus tetap mencerminkan kehormatan lembaga,” katanya.
Fenomena anggota dewan aktif di media sosial memang semakin banyak terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Dari sekadar berbagi kegiatan reses hingga membuat konten vlog dan kritik kebijakan publik, platform digital menjadi panggung baru bagi politikus untuk tampil dekat dengan rakyat. Namun, di sisi lain, tak jarang aktivitas itu juga menimbulkan kontroversi bila dilakukan tanpa mempertimbangkan etika dan batasan hukum.
Subandi menegaskan, Badan Kehormatan DPRD Kaltim selalu membuka ruang pembinaan dan klarifikasi apabila ada laporan pelanggaran etika terkait perilaku anggota dewan di media sosial. Ia berharap, kehadiran tokoh muda seperti Abdul Giaz dapat membawa warna baru dalam dunia politik daerah, terutama dalam hal keterbukaan informasi dan komunikasi dua arah dengan masyarakat.
“Generasi muda seperti beliau biasanya lebih peka terhadap dinamika sosial dan lebih cepat beradaptasi dengan teknologi. Kalau bisa menempatkan diri dengan baik, justru ini bisa menjadi kekuatan baru DPRD untuk membangun kepercayaan publik,” ujar Subandi.
Pelantikan Abdul Giaz sendiri menjadi sorotan publik, bukan hanya karena latar belakangnya sebagai influencer, tapi juga karena menjadi simbol masuknya generasi digital ke ranah politik formal. Banyak pihak berharap, gaya komunikasinya yang lugas dan dekat dengan masyarakat bisa menjadi contoh bagi anggota dewan lain dalam menjembatani kesenjangan antara rakyat dan wakilnya.
“Yang penting, tetap ingat bahwa sekarang beliau adalah bagian dari lembaga resmi negara. Kritik boleh, tapi harus dibarengi solusi. Itu yang membedakan antara aktivis dan legislator,” tutup Subandi.





