Resonansi.co.id – Viral di media sosial, aksi anak jalanan (anjal) penjual tisu di Samarinda yang diduga menggores mobil karena dagangannya tidak dibeli. Respons cepat datang dari Satpol PP Samarinda. Sejumlah anak diamankan pada malam hari, Selasa 20 Mei 2025.
Penertiban ini justru mengungkap ironi yang lebih dalam—banyak dari anak-anak itu masih berusia sangat muda, antara 6 hingga 10 tahun. Mereka bukan pelaku kriminal, tapi korban dari situasi yang membentuk mereka.
“Anak-anak yang kami amankan mengaku hanya teman dari pelaku sebenarnya. Usianya masih sangat kecil,” kata Kepala Satpol PP Samarinda, Anis Siswantini, saat dikonfirmasi Rabu 21 Mei 2025.
Langkah persuasif dilakukan. Orang tua dipanggil. Surat pernyataan ditandatangani. Namun, proses itu justru membuka kenyataan yang lebih pahit.
“Ada orang tua yang secara terang-terangan mengaku menyuruh anaknya berjualan tisu di jalan. Dua anak lainnya bahkan berjualan diam-diam setelah pulang sekolah,” imbuhnya.
Yang lebih memprihatinkan, salah satu anak bahkan tidak mengetahui siapa orang tuanya. Ia hanya bisa menunjukkan lokasi tempat tinggalnya.
Anis Siswantini mengaku, banyak dari anak-anak ini sudah terbiasa “hidup liar” di jalanan dan sulit diatur.
“Anak-anak ini cukup berani dan susah diarahkan. Kalau tidak ada peran aktif orang tua dan dukungan lembaga, ini bisa jadi masalah besar di masa depan,” ujarnya.
Anis berkomitmen bahwa pihaknya akan terus melakukan patroli dan monitoring 24 jam. Namun, mereka juga menyadari bahwa penertiban bukan solusi tunggal.
Tanpa Penampungan, Penanganan Tak Maksimal

Ketua Komisi I DPRD Samarinda, Shamri Saputra, menyoroti persoalan ini sebagai problem struktural yang sudah lama dibiarkan.
“Keberadaan anak jalanan dan pengemis bukan cuma mengganggu ketertiban, tapi menunjukkan kegagalan sistemik dalam perlindungan sosial kita,” ungkap politisi PKS ini saat ditemui Selasa 21 Mei 2025.
Shamri menjelaskan, DPRD telah memanggil Satpol PP untuk mendiskusikan solusi. Namun, terkendala oleh ketiadaan fasilitas penampungan serta minimnya anggaran operasional seperti makan dan tempat tinggal sementara bagi anak-anak yang diamankan.
“Masalahnya bukan hanya soal menangkap. Setelah ditertibkan, mereka mau ditaruh di mana? Siapa yang biayai makan mereka? Ini yang belum siap,” tegasnya.
Sebagai langkah sementara, ia mendorong patroli dan penempatan personel Satpol PP secara rutin di titik-titik lampu merah yang rawan, sembari mendorong masyarakat untuk tidak memberikan uang kepada anjal dan pengemis.
“Bukan karena kita tidak punya empati. Tapi ini cara menghentikan siklus. Kalau tidak ada yang memberi, mereka akan berhenti sendiri,” kata Shamri.
Shamri mendesak Pemerintah Kota Samarinda untuk segera menyiapkan solusi jangka panjang, bukan sekadar respons insidental saat kasus viral. Fasilitas penampungan, pendampingan psikososial, hingga program pendidikan alternatif perlu dirancang secara menyeluruh. (*)