Samarinda, Resonansi.co.id – Kelompok Kerja 30 (Pokja 30) melontarkan kritik tajam terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah daerah atas lambannya penanganan dugaan aktivitas tambang ilegal di lahan Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda.
Buyung dari Pokja 30 menilai penegakan hukum menjadi lemah ketika berhadapan dengan korporasi besar. Ia menyebut pelanggaran hukum yang terjadi di kawasan pendidikan seharusnya segera ditindak, namun justru terkesan diabaikan dalam waktu lama. Berdasarkan informasi yang mereka kumpulkan, pengerukan tanah di kawasan tersebut telah berlangsung selama beberapa bulan sebelum adanya reaksi dari pihak berwenang.
Menurutnya, kawasan pendidikan adalah wilayah yang secara hukum harus mendapat perlindungan khusus. Karena itu, penanganan lambat seperti ini memperlihatkan lemahnya keseriusan negara dalam menjaga aset-aset penting di sektor pendidikan.
“Tidak mungkin aktivitas tambang ilegal ini hanya dilakukan oleh satu orang. Tentu ada pihak-pihak lain yang terlibat dan itu semua harus dibongkar. Tapi sejauh ini, baru satu pihak yang dimintai keterangan. Itu tidak cukup,” ujar Buyung saat dihubungi pada Kamis 17 Juli 2025.
Ia juga menyesalkan sikap aparat dan pemerintah yang dinilai tidak menunjukkan komitmen kuat untuk mengusut siapa aktor utama di balik aktivitas perusakan tersebut.
“Ini bukan sekadar kerusakan lingkungan, tapi menyangkut transparansi dan keberanian penegakan hukum. Masyarakat berhak tahu sejauh mana keseriusan negara dalam menjaga lembaga pendidikannya,” tambahnya.
Buyung menekankan bahwa pihak pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang diduga terlibat dalam kasus ini juga harus dimintai pertanggungjawaban. Ia menilai tidak adil jika hanya pelaku di lapangan yang disasar, sementara pemegang kendali dan pemberi izin tidak turut diperiksa.
Ia menambahkan, Pokja 30 akan terus mengawasi jalannya proses hukum atas kasus ini. Mereka juga akan terus mendorong agar pihak-pihak yang terlibat secara struktural dapat dibongkar dan dibawa ke ranah hukum.
“Kasus ini tidak bisa dianggap sebagai perkara biasa. Ini menyangkut keberpihakan terhadap dunia pendidikan, integritas penegakan hukum, dan tata kelola pemerintahan yang bersih. Jika tidak diusut secara tuntas, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum akan terus terkikis,” tutup Buyung. (*)